Senin, 08 Maret 2010

Ijtihad dan Taklid dalam NU

Peradaban manusia selalu dinamis, terus berubah seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini tentu terus memunculkan masalah-masalah baru, masalah kontemporer di dalam masyarakat. Oleh karena itu para ulama-ulama NU dituntut untuk mampu memecahkan semua masalah-masalah yang timbul dengan melalui apa yang disebut ijtihad.

Lalu apa itu ijtihad? Apa itu taklid? Makalah ini akan mencoba sedikit menguraikan ijtihad dan taqlid. Dengan hadirnya makalah ini diharapkan akan semakin membuka wawasan kita. Semoga.


A. Pengertian Ijtihad dan Syarat-Syaratnya

Arti ijtihad menurut bahasa adalah mengeluarkan tenaga atau kemampuan. Ijitihad di kelalangan ulama NU dipahami sebagai upaya berpikir secara maksimal untuk istinbath (menggali) hukum syar’I yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia secara langsung dari dalil tafshili (Al Qur’an dan Sunnah). Ini adalah pengertian ijtihad mutlaq, pelakunya disebut mujtahid mutlaq. Meskipun dipertentangkan, apakah sekarang ini boleh melakukan ijtihad mutlaq atau tidak, namun para ulama nampaknya sepakat, perlu adanya syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tertentu bagi mujtahid mutlaq.

Syarat-syarat bagi mujtahid mutlaq; pertama, menguasai bahasa Arab, tentu termasuk nahwu, sharaf dan balaghohnya karena Al Qur’an dan Hadits berbahasa Arab. Tidak mungkin orang akan memahami Al Qur’an dan Hadits tanpa menguasai bahasa Arab.

Kedua, menguasai dan memahami Al Qur’an seluruhnya, kalau tidak ia akan menarik suatu hukum dari satu ayat yang bertentangan dengan ayat lain. Contohnya, do’a terhadap orang mati. Ada golongan-golongan yang menyatakan bahwa berdoa kepada orang mati, berdekah dan membaca Al Qur’an tidak berguna dengan dali:

“Dan tidaklah bagi seseorang kecuali apa yang telah ia kerjakan.” (QS. An-Najm: 39)


Hal itu tentu bertentangan dengan banyak ayat yang menyuruh kita mendo’akan orang mati. Dalam ayat lain tercantum :

“Orang-orang yang datang setelah mereka berkata : Ya Allah, ampunilah kami dan saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.”(QS. Al-Hasyr: 10)

Juga termasuk mengetahui ayat yang berlaku umun ('am) dan yang khusus (khos) yang mutlaq (tanpa kecuali) dan lyang muqoyyad (tebatas), yang nasikh (hukum yang mengganti) dan masukh (hukum yang diganti), dan asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat untuk membantu dalam memahami ayat tersebut.

Ketiga, manguasai hadits Rasulullah baik dari segi riwayat hadits untuk dapat membedakan antara hadits yang shahih dan yang dhaif. Mengapa harus menguasai hadits? Karena ylang berhak pertama kali untuk menjelaskan, Al Qur’an adalah Rasulullah SAW, maka apabila tidak menguasai hadits, dikhawatirkan manarik kesimpulan suatu hukum brtentangan dengan hadits yang shahih tentu ijtihad tersebut tidak dapat dibenarkan.

“Kami turunkan kepada engkau peringatan (Al Qur’an) supaya engkau terangkan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka mudah-mudahan mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44).


“Dan apa yang Rasul brikan kepadamu hendaklah kamu ambil , dan apa yang Rasul larang kepadamu hendaklah kamu hentikan, dan takutlah kepada Allah, Sesungguhnya Allah keras siksanya.”(QS. Al Hasyr: 7)

Keempat, mengetahui ijma’ (kesepakatan hukum) para sahabat. Supaya kita dalam menentukan hukum tidak bertentangan dengan apa yang telah disepakati oleh sahabat,m karena lebih mengetahui Syari’at Islam. Mereka hidup bersama nabi dan mengetahui sebab turunnya Al Qur’an dan datangnya hadits.

Kelima, mengetahui adat kebiasaan manusia. Adat kebiasaan bisa dijadikan hukum (al 'adatul muhakkamah) selama tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan hadits.

Dalam ijtihad, ada beberapa tingkatan, yakni ijtihad F1 Al-Mazhab, pelakunya disebut mujtahid F1 Al-Mazhab. Lalu dibawahnya ada ijtihad Fatwa, pelakunya disebut mujtahid Fatwa. Mujtahid tingkat kedua ini ialah mereka yang mampu meng-istibath hukum dari kaidah-kaidah imam mazhab (mujtahid mutlaq) yang diikuti. Misalnya imam Al-Muzani, pengikut mazhab Syarfi’i sedangkan mujtahid Fatwa adalah mujtahid yang mempunytai kemampuan metarjih antara dua Qaul yang di-mutlaqkan oleh imam mujtahid yang dianutnya.

Didalamnya kitab Al-Fawaid, Al-Makkiyah diuraikan tingkatan ulama Figh itu ada enam. Pertama mujtahid muntaqil, setingkat Al-Syafi’i. Kedua mujtahid muntasib, setingkat imam Al-Muzani. Ketiga ashhabu Al-Wujuh, setingkat imam Al-Qaffal. Keempat mujtahid Fatwa, setingkat Al-Nawawi dan imam Al-Rofi’i. Kelima pemikir yang mampu metarjih antara dua pendapat dari dua imam yang berbeda, misalnya imam Al-Asnawi. Keenam hamalatu Al-Fiqih, yaitu ulama-ulama yang menguasai aqwal (pendapat-pendapat) para imam.

Akan tetapi, Nahdlatul ulama mempergunakan istilah yang umum di kalangan ulama Ahlussunnah wal Jama’ah bahwa yang dimaksud mujtahid hanyalah mujtahid mutlak atau mujtahid mustaqil. Dibawah tingkatan itu tergolong Muqalid (orang yang mengikuti).

B. Itihad pada Masa Kini

Ijtihad diperlukan setelah Nabi SAW wafat karena permasalahan selalu berkembang. Ijtihad pada zaman Nabi tidak diperlukan, sebab apabila sahabat mempunyai persoalan langsung bertanya kepada Nabi. Sejak abad ke-II dan ke-III hijriyah permasalahan hukum islam telah mulai perumusan hukum, diantaranya hasil dari Al-Madhahibul Arba’ah baik dalam ibadah maupun mu’amalah. Dan telah diletakkan pula kaidah-kaidah ushul fiqih yang mampu memecahkan segala permasalahan yang timbul. Barangkali, periode saat ini bukan periode ijtihad, tetapi periode pengamalan.

Hal ini bukan berarti ijtihad ditutup mutlaq, tentu tidak. Dalam memecahkan masalah-masalah kontemporer, seperti cangkok mata, donor organ tubuh, bayi tabung dan lain-lain tentu diperlukan ijtihad. Namun ijtihad yang dimaksud adalah ijtihad dalm konteks intera mazhab belaka.

Seperti halnya kaum muslimin di Indonesia yang secara umum adalah pengikut mazhab Syafi’i. Untuk memecahkan masalah-masalah kontemporer, para ulama NU seringkali mengadakan apa yang mereka sebut bahtsul masa’il. Kegiatan tersebut merupakan pert4emuan kyai NU dari berbagai daerah untuk membahas masalah-masalah baru, dan yang menjadi referensi mereka adalah kita-kitab fiqih klasik (kitab kuning). Pertemuan diadakan dalam skala regional ataupun nasional, tergantung bersaran isu yang dijadikan subyek pembahasan.

Inilah model ijtihad yang ada di kalangan NU. NU ingin mempertahankan kepengikutan kaum nahdliyin terhadap mazhab yang mereka anut, terutama mazhab Syafi’i. Dan dalam anggaran dasar NU disebutkan bahwa mereka mengikuti mazhab Syafi’i atau salah satu dari tiga mazhab lainnya (Hanafi, Maliki dan Hanbali). Oleh karena itu, perkembangan fiqih di kalangan nahdliyyin tidak akan keluar koridor mazhab yang mereka anut.

C. Taklid Dalam NU

Taklid bagi NU, sesuai dengan pengertiannya yang telah ditulis dalam kitab-kitab Syafi’iyah, ialah mengambil atau mengamalkan pendapat orang lain tanpa tahu dalil-dalilnya atau hujjahnya. Tentang status hukumnya, taklid di bidang figh (bukan aqidah) ada beberapa pendapat yang cukup panjang pembasannya. Dalam hal ini Dr. Said Ramadlan mengutip kata imam Ibnu Al Qoyyim yang disetujui oleh beberapa ulama sebagai berikut. Bahwa telah lengkapnya kitab-kitab Al-Sunan saja belum cukup untuk dijadikan landasan Fatwa, tetapi juga diperlukan tingkat kemampuan istinbath dan kahlian berfikir serta menganalisa. Bagi yang tidak memiliki kemampuan tersebut, maka ia berkewajiban mengikuti firman Allah :


“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” ( QS. An-Nahl: 43)

Yang salah satu pengertiannya adalah taqlid.

Ibnu Khaldun juga menceritakan, para sahabat tidak semuanya ahli Fatwa. Begitu pula tabi’in. Ini berarti sebagian para sahabat dan tabi’in yang paling banyak jumalahnya, adalah bertaqlid kepada mereka yang ahli Fatwa. Tidak satupun dari sahabat dan tabi’in mengingkari taqlid. Imam Ghazali dalam kitabnya Al-Mustasfa mengatakan, para sahabat telah sepakat (Ijma) menganai keharusan bertaqlid bagi orang awan.

D. Dampak Ijtihad dan Taklid dalam NU

NU memang terkesan sangat kental dengan budaya taqlid. Artinya hampir seluruh gerak hidup komunitas NU khususnya yang terkait dengan bidang keagamaan (Fiqh) mengikuti oleh apa yang dikatakan oleh para kyai. Peran kyai dalam NU memang sangat sentral dan dapat menentukan seluruh aspek kebijakan, termasuk didalamnya kebijakan organisasi. Hal ini disebabkan, barangkali, NU terikat pad paham keagamaan yang telah disepkatinya, yaitu sebagai penganut paham Ahlussunnah waljama’ah. Dengan paham ini para kyai dapat saja menterjemahkannya dalam bahasa konkret, bahwa para santri atau komunitas NU dilarang keluar dari koridor paham ahlussunnah waljamaah tersebut. Dan bisa saja, ada semacam pembenaran, bahwa kebenaran untuk menterjemahkan paham ahlussunnah waljama’ah (agar tidak melenceng) datangnya hanya berasal dari para kyai yang dianggap telah mempunyai derajat validasi tinggi.

Akibat dari pemahaman demikian, NU terkesan mandeg, stagnan, kurang daya kritis dan daya kreatif. Seperti halnya kenyataan yang ada, dalam contoh masalah administrasi dan manajemen, NU masih sangat kurang. NU kultural lebih membumi daripada, NU struktural, padahal jika keduanya bisa seimbang, menurut hemat kami NU akan semakin maju dan berkembang daripada sekarang.

Dari uraian diatas dapat diambil pengertian bahwa ijtihad di kalangan ulama NU dipahami sebagai upaya berfikir secara maksimal untuk menggali hukum syar’i yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia secara langsung dari Al Qur’an dan Hadits.

Pelaku ijtihad disebut mujtahid dan dalam hal ini ada beberapa tingkatan; mujtahid mutlaq, mujtahid Fatwa, dan lain-lain.

Seorang mujtahid harus menguasai bahasa Arab berikut nahwu, sharaf dan juga balaghohnya, menguasai dan mamahami Al Qur’an secara keseluruhan, menguasai hadits-hadits Rasulullah, mengetahui yina para sahabat, dan juga mengetahui adat kebiasaan manusia.

Adapun taqlid menurut KH. Ahmad Siddiq adalah mengikuti pendapat orang lain yang diyakini kebenarannya sesuai dengan Al Qur’an dan hadits pelakunya disebut muqallid.

Bagi orang awam, yang tidak memenuhi kriteria sebagai mujtahid alias tidak memiliki kemampuan untuk berijtihad maka taqlid adalah wajib hukumnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar